(Pencetus Metode Qiraati)
KH. Dachlan Salim Zarkasyi (Yai Dachlan) adalah salah seorang tokoh fenomenal di bidang dunia pendidikan al-Quran untuk anak-anak. Dari beliaulah muncul ide Taman Pendidikan al-Quran yang pertama di Indonesia, yang hingga sekarang ini populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia dengan sebutan TKQ/TPQ atau TKA/TPA dan seterusnya. Disebut pertama karena memang jauh sebelumnya, proses pendidikan al-Quran di lingkungan kita masih sangat klasik yakni dengan metode sorogan (individual/baghdadiyah), dengan metode ini seorang guru dapat mengajarkan puluhan atau bahkan ratusan santri/siswa dalam satu waktu. Belum lagi manajemennya yang masih berkutat pada alladzi fiih (apa adanya).
Namun setelah munculnya Qiraati (1963)
dunia pendidikan al-Quran (khususnya untuk anak-anak) mengalami
perombakan total. Dari pola pengajaran, waktu, tempat, materi dan guru
pengajarnya harus memenuhi kualifikasi tertentu jika ingin berhasil.
Belum lagi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kefashihan.
Walhasil, proses pengajaran dan pembacaan al-Quran yang selama ini
dirasa benar sepertinya harus ditinjau ulang. Sebagai contoh kecil, coba
kita perhatikan yang telah membudaya dalam lahjah Jawa biasa dengan pengucapan ton dan ten, padahal seharusnya tun dan tin.
Dengan Qiraati Yai Dachlan telah mengingatkan kita betapa mudah dan indahnya mengajarkan membaca al-Quran dengan mujawwad murattal. Mengingatkan
kembali kepada para guru supaya lebih berhati-hati. Sebab kelahiran
Qiraati memang berawal dari kelemahan para guru ngaji yang
belum mampu mengajarkan al-Quran terhadap anak-anak secara baik dan
benar sesuai dengan ketentuan ilmu Tajwid. Dalam salah satu dawuh-nya, beliau berujar “tidak ada anak yang bodoh, yang ada guru yang tidak bisa ngajar.”
Kritik beliau kepada para guru ngaji terkadang
sangat menggelitik tapi benar, seperti hal-hal yang sangat sederhana,
yang sering dilupakan seorang guru, bahwa guru hendaknya sering sering
ngaji (baca al-Quran), tahajjud (sholat malam) mendoakan santri-santrinya, berlaku sabar dalam mendidik, syukur dan ikhlas atas segala yang menimpanya.
Kritik yang sederhana tersebut terlihat sangat nyleneh di
telinga kita, namun dibalik semua itu tersimpan sebuah harapan besar
akan keberhasilan. Sebab dalam aktifitas fisik sebenarnya teriring dan
hidup aktifitas ruhani yang peran dan pengaruhnya terkadang jauh lebih
besar jika dibandingkan dengan sekedar aktifitas fisik. Kami melihat
bahwa pesan atau kritik tersebut kelak akan sangat berpengaruh selain
pada kemampuan penyerapan materi, yang lebih penting adalah pembangunan
karakter mental-spiritual anak. Di sinilah hal yang terpenting dalam
dunia pendidikan. Bukan sekedar paham dan tahu akan tetapi bagaimana si
santri/anak didik menyandang karakter yang terpuji, dan semua itu tentu
akan dapat diwujudkan jika seorang pendidik telah memulai dari dirinya
sendiri. Persis seperti yang telah di-dawuh-kan beliau, “anak bagus melalui guru yang bagus pula.” Selaras dengan yang dikatakan oleh penulis Ta’limul Muta’allim :
أفضل العلم علم الحال…وأفضل الفعل حفظ الحال
ilmu yang paling utama adalah ilmu untuk mengatur sikap prilaku, dan perbuatan yang paling utama adalah menjaga sikap prilaku.
Berangkat dari warisan Yai Dachlan
(Qiraati), coretan ini mencoba menafsir ulang pesan-pesan yang selama
ini menjadi pagar pelindung sekaligus cahaya yang menerangi jalan-jalan
di kala para guru sibuk mengajar dan memperbincangkan Qiraati. Lebih
khusus lagi, coretan ini mencoba mengurai dawuhipun mengenai ikhlas.
Ikhlas dalam Ilmu Fiqh
Sebagaimana yang telah dikatakan penulis
Ta’lim al-Muta’allim, bahwa perbuatan yang paling mulia adalah menjaga
sikap prilaku. Menjaga prilaku di hadapan Tuhan, lebih-lebih di hadapan
manusia. Sebab, prilaku kita terhadap sesama merupakan cermin prilaku
terhadap Tuhan. Buruk kita berprilaku, maka jelas dipandang buruk pula
oleh Tuhan. Inilah hukum agama, dimana kearifan sosial mencerminkan
kearifan Ilahiyah. Dapat dikata bahwa syariat akan memantulkan sinar
kehakikiaannya setelah kita ber-kasab-ria.
Ikhlas adalah dimensi dalam dari sikap
prilaku. Sisi psikologis sebuah tindakan. Shalat, puasa, ngaji dan
amalan lain dari kita boleh jadi sah secara fiqhiyah, namun keikhlasan
belum tentu. Kita boleh jadi bersedekah, kita tahu seberapa banyak yang
dikeluarkan pun juga yang menerima sedekah tersebut, namun jangan
buru-buru berbicara ikhlas, karena bisa berubah menjadi riya’. Itulah
beberapa contoh kecil amalan-amalan harian yang akrab dengan kita, yang
mungkin secara fiqhi sah-sah saja, namun jika dilihat dari sisi dalam
siapa yang tahu. Secara fiqhiyah sedekah kita dibatasi dengan ukuran
tertentu, padahal membatasi amalan bagian kecil dari tanda-tanda jika
amalan tersebut tidak ikhlas. Lihat, berzakat ada ukurannya, shalat ada
macam-macamnya, padahal dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Hadraturrasul saw seringkali melakukan sholat sampai kakinya bengkak sebab begitu tidak terhingganya berapa banyak rakaat yang telah dikerjakan.
Sampai di sini ilmu fiqh angkat tangan,
ilmu fiqh hanya dapat menerangkan sisi luar namun tidak dapat menjangkau
sisi dalam hati kita. Karena itu, pendidikan dalam tradisi pesantren
ilmu fiqh tidak diajarkan sendiri melainkan dibarengkan dengan tasawuf,
menjadi fiqh-tasawuf, akhlak-tasawuf dll. Ini semua
dimaksudkan supaya para santri kelak tidak hanya memahami agamanya hanya
di sisi luarnya saja melainkan terus masuk menuju jantung pusatnya
(esoterik). Lihat contoh seperti kitab Tanwiirul Quluub oleh Syeh Muhammad Amin al-Kurdy, al-Ghunniyah-nya Syeh Abdul Qadir Jailani dan lain-lain. Untuk
itu, mengenal pemikiran (nasehan/pesan-pesan) Yai Dachlan sebenarnya
akan lebih menarik jika kita urai dengan pendekatan sufi (tasawuf).
Karakter Ikhlas
Ikhlas Suatu saat hadraturrasul
meriwayatkan sebuah hadis Qudsi, bahwa beliau bertanya kepada jibril
(jibril tidak mampu menjawab), lalu Jibril meneruskan pertanyaan
tersebut pada Tuhan,
قال سر من سرى استودعته قلب من احببته من عبادى
“Ikhlas adalah Rahsia dari beberapa rahasia-Ku yang Aku titipkan pada hati orang yang Aku cintai di antara hamba-hamba-Ku.”
Firman Tuhan dalam hadis Qudsi ini
menandakan bahwa ikhlas, sebagaimana kata itu sendiri, ia tak
terdefinisikan. Tidak dapat dijelaskan atau ditorehkan dengan apapun.
Karena Tuhan sendiri yang telah membatasi pengetahuan kita tentangnya.
Pada akhirnya kita hanya dapat menaksir dan menerka belaka. Oleh Tuhan
kata ini Dia biarkan menjadi misteri (rahasia), bahkan kepada hati
hamba-hamba-Nya yang Dia cintai sekalipun.
Mereka yang dicintai Tuhan, merekalah
yang merasakan keikhlasan. Namun sebaliknya, mereka sebenarnya tidak
tahu apakah yang di ‘rasa’ merupakan keikhlasan atau bukan. Tetap
menjadi misteri. Dan dari hadis Qudsi di atas mengindikasikan bahwa
salah satu cara menggapai keikhlasan adalah berupaya sekuat tenaga agar
kita benar-benar menjadi hamba yang dicintai-Nya.
Mencintai mungkin lebih mudah dibanding
dengan menjadi ‘yangdicintai’. Boleh jadi dalam kehidupan keseharian,
Anda telah melakukan segalanya sebagai bukti dari cinta Anda, namun itu
semua terkadang belum cukup menyentuh hati si dia. Anda boleh berbicara, menginformasikan ke siapa saja kalau Anda benar-benar mencintai si dia. Tetapi itu semua hanya klaim, hanya versi Anda.
Dalam kitab Madaris as-Salikin (Ibn Qayim) mengurai beberapa tanda orang yang sedang dimabok cinta, salah satunya yaitu, ‘menganggap
sedikit pemberian kita (meski pada kenyataannya banyak) dan menganggap
banyak pemberian kekasih (meski pada kenyataannya sedikit). Seorang
ulama sufi, Abu Yazid al-Bustami berkata bahwa jerih orang yang
mengupayakan tanda cintanya sampai pada titik seandainya Anda berada di
mesin pemotongan, lalu tubuh Anda dipotong-potong sebanyak 40 kali,
sementara yang di ujung sana sebagai eksekutor adalah kekasih Anda
sendiri, dan Anda tetap akan berkata, “I LOVE YOU.” Dua ungkapan para
ulama ini mensyaratkan betapa sulitnya mencintai, namun ingat, biarpun
Anda telah sampai pada keadaan seperti ungkapan di atas, toh Anda belum menjadi ‘yangdicintai’ kecuali jika sang kekasih sendiri yang mengatakan.
Seperti sebuah syarat, bahwa untuk
menjadi ‘yangdicintai’ Anda harus belajar mencintai terlebih dahulu.
Mencintai dengan setulus hati (ikhlas). Ungkapan lawas berbunyi ‘tak
kenal maka tak sayang’. Tuhanpun telah berfirman dalam surat Ali Imran:
31
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini juga menginginkan supaya kita
menumbuhkan rasa cinta dan melestarikannya terlebih dahulu baru kemudian
ada jawaban dari Tuhan, yaitu cinta dan ampunan. Logika pengampunan-Nya
misalnya, terhadap orang yang Anda cintai se-salah apapun ia berbuat,
Anda toh tetap akan mengampuni (memaklumi) karena ‘cinta’ Anda.
Konteks ini sebagaimana terjadi pada diri beliau hadraturrasul Muhammad
saw, dimana dosa-dosanya telah diampuni, bahkan yang ‘kan datang
sekalipun.
Walhashil, di antara ikhlas dan
cinta mengandaikan suatu aktifitas yang rutin, gigih dan istiqamah.
Aktifitas yang terus menerus tersebut kelak yang akan mempesonakan Tuhan
lalu memperoleh cinta-Nya. Karena hanya dengan cinta-Nya lah semua
aktifitas yang biasa, menjelma, menjadi aktifitas (amalan) yang ikhlas.
Dalam konteks mengajar, ikhlas akan
tampak dari cinta guru terhadap murid. Ikhlas akan menjelma pada
ke-rajin-an guru-gurunya. Dan ikhlas akan muncul sebagai istiqamah.
Sebagaimana dalam Majalisus Saniyah, penulis berdoa:
اللهم ارزقنا الاخلاص وجعلنا من المخلصين
Sumber. qiraatiwordpres.com
Pos. by. blackyfarel
ConversionConversion EmoticonEmoticon